Peran Penting Kontrol Kualitas Ransum |
Ransum menjadi komponen penting yang menentukan pencapaian produktivitas ayam secara optimal, baik produksi telur (henday)
yang tinggi dengan persistensi (lama bertahan di puncak produksi) yang
lama maupun pertumbuhan berat badan secara optimal. Asupan nutrisi yang
diperlukan untuk pembentukan telur dan pertumbuhan sebagian besar
diperoleh dari ransum.
Suplai
ransum untuk ayam hendaknya memperhatikan kualitas (mutu) maupun
kuantitas (jumlah). Ransum dengan kandungan nutrisi yang lengkap namun
tanpa diimbangi dengan teknik pemberian ransum yang baik tidak akan
mampu mengoptimalkan produktivitas ayam. Begitu pula sebaliknya, sebaik
apapun teknik pemberiannya namun ransumnya kurang berkualitas tentu saja
produktivitas ayam menjadi kurang optimal.
Kualitas dan teknik pemberian ransum yang baik akan menentukan pencapaian produktivitas ayam secara optimal
(Sumber : Dok. Medion)
(Sumber : Dok. Medion)
Oleh
karena itu, kedua hal tersebut perlu dijaga agar performan ayam mampu
mencapai optimal sesuai dengan potensi genetik yang telah dibawanya.
Dalam artikel utama Info Medion edisi ini akan mencoba menjabarkan
mengenai peran penting kontrol kualitas ransum dalam mengoptimalkan
produktivitas ayam.
Parameter Ransum Berkualitas
Kualitas
ransum akan tercermin dari pencapaian performan ayam, dengan catatan
tidak ada campur tangan penyakit. Karena pada dasarnya ransum merupakan
campuran 2 atau lebih bahan baku yang diformulasikan sedemikian rupa
sehingga memiliki kandungan nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan ternak
untuk aktivitas hidup pokok, produksi dan reproduksi selama 24 jam tanpa
menimbulkan efek keracunan.
Dengan
demikian, ransum berkualitas harus memiliki kadar nutrisi yang sesuai
dengan kebutuhan ayam disetiap periode perkembangannya. Lalu nutrisi
yang diperlukan untuk pertumbuhan dan produksi telur itu apa saja?
Seperti halnya pada manusia, nutrien yang diperlukan oleh ayam ialah
protein, lemak, serat, energi metabolisme maupun mineral (abu), seperti
kalsium, fosfor. Nutrien yang disebutkan tadi sudah umum diketahui. Dan
saat ini para formulator maupun peternak sudah memikirkan lebih dalam
mengenai nutrisi yang diperlukan oleh ayam. Ambil contoh asam amino
(methionin, lisin) maupun mikro mineral, seperti besi (Fe), seng (Zn),
mangan (Mn), selenium (Se) dll, yang menjadi unsur mikro dalam suatu
ransum. Hal ini dilakukan tidak lain untuk mengoptimalkan potensi
genetik yang telah melekat pada ayam modern saat ini. Dan saat inipun
telah berkembang standar kebutuhan yang berdasarkan available (ketersediaan) dan digestible (kecernaan).
Lalu
apakah ransum dengan kadar nutrisi tinggi, bisa dikatakan berkualitas
bagus? Tidak selalu ransum dengan kadar nutrisi yang tinggi (berlebihan,red)
memiliki kualitas yang baik, bisa saja kadar nutrisi tersebut
mengganggu metabolisme atau kesehatan ayam. Ambil contoh ialah ransum
dengan kadar protein yang tinggi, misalnya 25%. Jika ransum ini
diberikan pada ayam petelur masa grower maka ayam akan menjadi kegemukan
sehingga nantinya produksi telur tidak bisa optimal. Belum lagi,
kelebihan kadar protein tersebut akan dikeluarkan dari tubuh ayam
melalui mekanisme yang memerlukan energi lebih banyak dan menimbulkan
permasalahan peningkatan kadar amonia. Dari sisi pengelola (peternak,red) kadar protein yang tinggi ini adalah cost
(biaya). Semakin tinggi kadar protein kasar dalam suatu ransum maka
harga ransum tersebut akan semakin mahal, terlebih lagi bahan baku
sumber protein harganya relatif mahal.
Kadar
serat kasar dan lemak kasar juga hendaknya tidak melebihi standar. Dan
pada leaflet pakan seringkali di belakang kedua nutrien ini akan
tercantumkan kata “maks” yang berarti maksimal, tidak boleh melebihi
standar. Hal ini dikaitkan dengan efek negatif yang ditimbulkan jika
kadar kedua nutrien ini relatif tinggi. Kelebihan kadar serat kasar akan
mengakibatkan feed intake menurun mengingat serat kasar tidak
bisa dicerna oleh tubuh ayam. Lemak kasar yang berlebih akan menjadikan
ransum mudah tengik sehingga vitamin larut lemak, seperti A, D, E dan K
rusak.
Oleh karena itu, ransum yang kita formulasikan sendiri (self mixing)
maupun yang akan kita beli hendaknya berpedoman pada kebutuhan ayam
yang kita pelihara (jenis dan fase produksinya). Data mengenai kebutuhan
nutrisi ayam dapat kita temukan dari beberapa sumber, seperti standar
nasional indonesia (SNI) yang dapat diakses di http://www.bsn.go.id/sni/
seperti yang tercantum pada tabel 1. Meskipun sudah cukup lama, tahun
1995, data tersebut bisa digunakan sebagai panduan awal dalam mengetahui
kebutuhan nutrisi ayam. Selain itu ada juga standar dari The National Research Council (NRC) dengan alamat website sebagai berikut http:\\sites.nationalacademies.org/NRC/.
Data yang lebih up to date
dapat kita temukan dari jurnal penelitian yang dipublikasikan oleh
lembaga penelitian maupun universitas. Atau bisa juga kita berpedoman
pada manual management yang dikeluarkan oleh masing-masing breeder
(perusahaan pembibitan). Dan terakhir, data kebutuhan yang paling
mendekati atau sesuai dengan kondisi lapangan ialah data hasil
pengamatan atau percobaan yang kita lakukan pada peternakan kita. Hal
ini mengingat kebutuhan nutrisi sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan peternakan masing-masing. Kebutuhan energi metabolisme untuk
peternakan di daerah panas tentu berbeda dengan daerah dingin. Ayam yang
dipelihara di daerah panas membutuhkan energi lebih sedikit
dibandingkan ayam yang dikandangkan di daerah dingin. Energi diperlukan
salah satunya untuk mempertahankan panas tubuh ayam sehingga saat di
daerah dingin ayam membutuhkan energi lebih besar. Belum lagi tipe
kandang, tantangan bibit penyakit juga berpengaruh terhadap kebutuhan
nutrisi. Oleh karenanya tidak jarang ditemukan, formulasi ransum yang
bagus di satu tempat belum tentu bagus diaplikasikan dilain lokasi.
Memperoleh Ransum Berkualitas
Ransum yang diberikan pada ayam dapat bersumber dari feedmill (perusahaan pakan) ataupun self mixing
(diformulasikan sendiri). Keduanya memiliki kelebihan dan kelemahan.
Jika kita memilih ransum dari pabrikan, biasanya harganya relatif lebih
mahal, namun kita tidak perlu direpotkan dengan seabrek aktivitas untuk
pemesanan bahan baku sampai pencampuran ransum. Begitupun jika kita
memilih self mixing, tentu kita harus paham dan siap dengan semua
konsekuensinya demi menekan biaya ransum yang kita keluarkan. Harga per
kg ransum tentu menjadi hal yang selayaknya kita perjuangkan untuk
diefisienkan, mengingat biaya ransum menempati porsi terbesar, mencapai
70%, dalam menopang berjalannya sebuah usaha peternakan. Bisa juga
ransum tersebut merupakan kombinasi ransum pabrikan dan self mixing
dalam bentuk pakan campuran, yaitu konsentrat yang dicampur dengan
jagung dan bekatul. Ini juga menjadi salah satu cara untuk menekan biaya
ransum.
Self mixing menjadi salah satu upaya untuk menekan biaya
(Sumber : www.intermech.biz)
(Sumber : www.intermech.biz)
Ransum
pabrikan biasanya telah melalui serangkaian proses kontrol kualitas
yang ketat, mulai dari seleksi bahan baku, selama proses produksi sampai
produk akhir. Alur kontrol kualitas ini telah menjadi hal yang wajib
dilakukan bagi sebuah feedmill. Semua itu dilakukan untuk
menjamin kualitas ransum yang dihasilkan sesuai dengan standar yang
telah ditentukan. Teknologi yang diterapkan pun modern dengan tenaga
kerja yang ahli di bidangnya.
Ransum hasil self mixing hendaknya juga mengadopsi sistem yang diterapkan pada feedmill, terlebih untuk kontrol kualitas. Tidak harus sama persis dan sedetail feedmill
namun setidaknya untuk hal-hal yang vital perlu tetap diaplikasikan.
Kontrol yang ketat terhadap kualitas bahan baku yang akan digunakan
dalam formulasi adalah salah satu contohnya. Tahapan ini menjadi tonggak
awal untuk mencapai kualitas ransum yang baik. Saat kita (peternak,red)
menerima kiriman bahan baku dengan kualitas yang meragukan atau tidak
sesuai hendaknya kita tegas untuk menolak bahan baku tersebut dan
mencari supplier lainnya. Disinilah pentingnya kita memiliki beberapa supplier bahan baku, jangan menggantungkan pada satu supplier saja.
Kontrol Kualitas Ransum
Kontrol
kualitas menjadi bagian yang tidak bisa dilepaskan dalam suatu proses
untuk menghasilkan ransum yang bermutu. Adanya kontrol kualitas yang
ketat setiap bahan baku akan memiliki kualitas yang sesuai standar dan
mendeteksi adanya kontaminan sehingga ransum yang diproduksi pun bermutu
baik.
Tahapan kontrol kualitas hendaknya dilakukan pada :
1. Bahan baku
Bahan baku ransum menjadi titik vital pertama yang menentukan kualitas ransum yang dibentuk. Bahan baku yang sama, berasal dari supplier
yang sama belum tentu memiliki kualitas yang sama. Hal ini dikarenakan
kualitas bahan baku sangat dipengaruhi oleh proses pembuatan bahan baku,
kondisi musim maupun handling pengiriman. Oleh karenanya kontrol
kualitas tetap dilakukan pada setiap kedatangan bahan baku, meski
berasal dari supplier yang sama.
Jika
bahan baku ransum tersebut disimpan selama periode waktu tertentu,
kontrol kualitas hendaknya dilakukan secara periodik, misalnya 1 bulan
sekali. Hal ini untuk melihat penurunan kualitas selama penyimpanan.
Harapannya bahan baku tersebut masih memiliki nutrisi yang sesuai dengan
rentang yang kita rekomendasikan sehingga ransum yang dihasilkan
memiliki kandungan nutrisi yang sesuai. Dan jika ditemukan bahan baku
yang menurun kualitasnya kita bisa dengan cepat mengantisipasinya.
Jangan sampai hal ini baru terdeteksi setelah masuk dalam proses
produksi karena dapat memperbesar biaya yang dikeluarkan.
Saat
penyimpanan bahan baku di gudang hendaknya dilakukan kontrol kualitas
secara periodik sehingga kualitasnya terjaga (Sumber : Dok. Medion)
2. Proses produksi
Selama
proses produksi hendaknya dilakukan juga kontrol kualitas berupa
pengambilan sampel, terutama selama proses produksi dan sebelum
pengemasan. Pada self mixing bisa saja dilakukan setelah proses mixing
(pencampuran atau pengadukan) selesai. Dari kontrol kualitas ini dapat
diketahui apakah proses pencampuran bahan baku dapat berjalan optimal
sehingga tercampur dengan homogen.
3. Ransum jadi
Kontrol
kualitas ransum jadi dilakukan setelah ransum dikemas dan disimpan di
gudang penyimpanan. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa ransum yang
akan digunakan atau dipasarkan memiliki kualitas sesuai dengan yang
distandarisasikan.
Kontrol
kualitas selama ini mungkin diidentikkan dengan sesuatu yang rumit,
memerlukan peralatan khusus dan keahlian tersendiri. Anggapan ini
tidaklah salah, kontrol kualitas ini dilakukan untuk mengetahui komponen
atau bagian kecil dari suatu bahan baku atau ransum sehingga memerlukan
metode dan peralatan khusus, terutama untuk mengetahui kadar nutrisi
tertentu. Meskipun demikian, masih banyak pula metode simple (sederhana) yang dapat kita lakukan untuk mendeteksi kualitas atau mengetahui adanya kontaminasi bahan asing.
Secara
umum uji atau kontrol kualitas secara mendetail membutuhkan waktu yang
relatif lama. Oleh karena itu diperlukan uji praktis untuk mendeteksi
kualitas bahan baku ransum. Beberapa mekanisme atau metode kontrol
kualitas ialah :
1. Kontrol kualitas fisik
Sesuai
dengan namanya, kontrol kualitas atau uji fisik dilakukan dengan
melihat kondisi fisik dari bahan baku atau ransum. Nama lainnya ialah
uji organoleptik. Uji ini bersifat kualitatif karena tidak bisa
menunjukkan kadar atau nilai tertentu. Kepekaan dan jam terbang kita
dalam melakukan uji ini akan menjadi penentu tingkat ketepatan uji.
Semakin sering atau terbiasa, maka ketepatannya akan semakin meningkat.
Kontrol kualitas fisik ini dapat dilakukan melalui beberapa cara, yaitu :
a. Pengamatan visual (penglihatan)
Dilakukan
dengan melihat fisik dari bahan baku atau ransum, diantaranya warna,
tekstur, konsistensi, ada tidaknya bahan asing, jamur, serangga atau
kumbang penggerek ataupun gumpalan. Uji organoleptik secara visual ini
merupakan teknik terbaik diantara uji organoleptik lainnya.
Saat
kita melihat jagung yang berjamur (kiri) sudah selayaknya kita tidak
menggunakan jagung ini sebagai bahan baku dalam formulasi ransum kita
(Sumber : Anonimous)
Adanya
perubahan kondisi fisik suatu bahan baku ransum biasanya
mengindikasikan adanya perubahan kandungan nutrisinya. Ambil contoh
warna tepung ikan yang lebih gelap dapat mengindikasikan bahwa kadar
airnya relatif lebih tinggi. Saat ditemukan serangga atau kumbang
penggerek pada jagung, bekatul atau bungkil kedelai bisa dipastikan
kadar energi atau protein bahan tersebut menurun. Adanya kontaminasi
jamur juga demikian, selain menurunkan kadar nutrisinya, jamur juga
menghasilkan racun (mikotoksin) yang dapat melemahkan sistem pertahanan
tubuh ayam dan menunkan respon pembentukan antibodi.
b. Diraba
Kontrol
kualitas ini biasanya dilakukan untuk mendeteksi adanya campuran sekam
pada bekatul. Caranya ambil sesendok bekatul dan letakkan pada telapak
tangan. Ambil sejumput dan gosok-gosokkan diantara jari, jika terlalu
kasar bisa disimpulkan bahwa bekatul tercampur sekam. Bisa juga dengan
menekan segenggam bekatul, jika kualitas bekatul itu baik, akan
terbentuk cetakan jari pada bekatul tersebut. Tepung ikan dengan kadar
air tinggi akan terasa panas dan lengket pada tangan.
c. Dirasa
Dalam
kontrol kualitas ini kita menggunakan indra perasa kita yaitu lidah.
Biasanya dilakukan untuk mengetahui kadar garam pada tepung ikan. Jika
rasa asin mirip dengan asinan maka diperkirakan kadar garamnya 5%, namun
jika rasa asinnya seperti pada masakan, diprediksikan kadar garamnya
berkisar 2-3%.
d. Suara
Identifikasi
berdasarkan suara bisa memprediksikan kadar air biji-bijian.
Biji-bijian yang dikeringkan dengan baik saat digoyang-goyang dalam
kepalan tangan akan terdengar lebih nyaring. Begitu juga jika digigit,
suara patahannya lebih keras.
e. Bulk density (kepadatan)
Uji kepadatan (bulk density)
ini dilakukan dengan mengukur volume dan berat dari sampel bahan baku
ransum. Masing-masing bahan baku telah memiliki standar bulk density
tersendiri, contohnya ialah jagung 626 g/l (1 liter jagung memiliki
berat 626 gram), bekatul 351 - 337 g/l, tepung ikan 562 g/l, tepung
daging dan tulang (MBM) 594 g/l, bungkil kedelai (SBM) 594 - 610 g/l
(Jowaman & Sarote, 1999). Apabila kepadatannya melebihi atau kurang
standar tersebut ada kemungkinan ada bahan kontaminan (cemaran).
Metode bulk density dilakukan dengan mengukur volume bahan baku (1) lalu menimbangnya (2)
(Sumber : Jowaman & Sarote, 1999)
(Sumber : Jowaman & Sarote, 1999)
2. Kontrol kualitas mikroskopis
Uji
kualitas ini merupakan tidak lanjut dari uji organoleptik. Sesuai
dengan namanya diperlukan mikroskop dengan pembesaran 90 - 500 x sebagai
alat bantunya. Inti dari uji ini ialah melihat tekstur bahan baku dan
bahan kontaminan.
Gambaran hasil pemeriksaan mikroskopik pada jagung (1), bekatul (2), tepung daging & tulang (MBM) (3),
dedak (4), tepung ikan (5) dan tepung tulang (6) (Sumber : Jowaman & Sarote, 1999)
dedak (4), tepung ikan (5) dan tepung tulang (6) (Sumber : Jowaman & Sarote, 1999)
3. Kontrol kualitas kimia
Kontrol
kualitas fisik maupun mikroskopik hanyalah bersifat kualitatif (bagus
atau tidak) tanpa menunjukkan kadar suatu zat. Dan biasanya kedua uji
ini digunakan sebagai rekomendasi (penentu) awal tentang kualitas suatu
bahan baku ransum. Terlebih lagi prosesnya yang relatif cepat.
Namun
untuk tujuan yang lebih mendalam, yaitu mengetahui kadar nutrisi,
seperti energi metabolisme, protein, lemak, vitamin, mineral ataupun
asam amino diperlukan uji yang lebih kompleks. Dan uji ini dilakukan
memakai peralatan khusus di laboratorium khusus. Biasanya tahapan ini
memerlukan waktu yang relatif lama dan biaya yang relatif lebih mahal.
Analisis
proksimat untuk mengetahui kadar protein, lemak, serat, abu dan kadar
air telah umum dimanfaatkan oleh peternak. Salah satunya adalah MediLab,
sarana laboratorium Medion yang disediakan untuk membantu peternak
dalam menganalisis kadar nutrisi bahan baku dan ransum. Selain
proksimat, analisis kadar aflatoksin maupun kadar garam juga relatif
sering dimanfaatkan.
Agar
hasil uji lebih optimal, perlu didukung dengan teknik pengambilan dan
pengiriman sampel yang benar. Sampel sebaiknya diambil dari beberapa
bagian tumpukan bahan baku atau ransum. Semakin banyak titik yang
diambil sampel akan semakin mencerminkan kondisi ransum. Untuk uji
proksimat lengkap (kadar air, protein, serat, lemak, abu) diperlukan
setidaknya 300 gram sampel. Dalam pengiriman, sampel jangan sampai
rusak, lebih baik dimasukkan dalam kardus tertutup sehingga aman dari
kontaminasi.
Jika kita mengirimkan sampel ke beberapa laboratorium dan hasilnya relatif berbeda (<
5%), hal itu adalah sebuah kewajaran, mengingat dipengaruhi oleh
homogenitas sampel. Akan lebih baik jika hasil tersebut dirata-rata.
Kontrol
kualitas menjadi tahapan penting dalam menjaga ransum tetap
berkualitas. Ransum yang berkualitas perlu didukung dengan teknik
pemberian secara tepat sehingga produktivitas ayam menjadi optimal. By: Pakan Ikan Madiun, Sumber: info.medion.co.id