TAG - BLOGQ

Jamur dan Mikotoksin pada Ransum

Persoalan Jamur dan Mikotoksin pada Ransum | Print |
Ransum memegang peranan penting dalam mendukung pertumbuhan dan produktivitas ternak. Bukan saja karena merupakan input biaya terbesar dalam menjalankan usaha peternakan, tetapi juga merupakan kebutuhan utama bagi ayam untuk menghasilkan produksi berupa daging dan telur. Oleh karena itu, ransum yang diberikan harus senantiasa terjaga kualitasnya, mulai dari pengadaan, penanganan, penyimpanan, sampai pada metode pemberiannya. Hal ini penting untuk diperhatikan sebab kualitas ransum yang buruk, kerap kali menimbulkan masalah pada ayam.
Sebenarnya banyak faktor yang berpengaruh pada kualitas ransum di daerah beriklim tropis seperti di Indonesia, yang notabene beriklim panas dengan kelembaban yang tinggi serta mempunyai dua musim. Kondisi tersebut merupakan zona yang ideal bagi pertumbuhan jamur, yang dapat menyerang ransum maupun bahan baku ransum. Hal ini tentunya berimbas pada penurunan kualitas nutrisi serta penurunan produktivitas ayam.

Pengaruh Kualitas Ransum terhadap Pertumbuhan Jamur
Daya tahan dan daya simpan ransum dan bahan baku ransum sangat tergantung pada kadar air yang terkandung di dalamnya. Standar Nasional Indonesia (SNI) menetapkan angka ideal kadar air dalam ransum ternak tidak melebihi 14%. Meskipun demikian, sebagai antisipasi dan langkah aman, sebagian pabrik pakan menerapkan standar lebih baik dengan mematok kadar air di kisaran 10–12%.
Meskipun kadar air ransum yang berasal dari pabrikan atau bahan baku ransum dari supplier sudah memenuhi standar, tidak menjamin bahwa ransum yang akan diberikan pada ayam akan tetap baik kualitasnya. Penyimpanan ransum dalam gudang yang lembab dipastikan akan menyebabkan ransum rusak dalam waktu 2-3 hari saja. Yang paling umum muncul di daerah tropis dengan kelembaban tinggi seperti Indonesia adalah tumbuhnya jamur. Kontaminasi jamur menjadi masalah tersendiri karena jamur ini memproduksi racun yang biasa dikenal dengan mikotoksin.
Jamur Aspergillus flavus penghasil aflatoksin (a); bahan pakan terkontaminasi jamur (b)

Pemberian ransum yang terkontaminasi mikotoksin pada ayam akan menimbulkan gangguan kesehatan serius (mikotoksikosis) berupa gejala keracunan, sampai kematian. Kasus yang banyak terjadi di lapangan, meski tidak menimbulkan kematian tetapi kejadiannya signifikan menekan produksi ayam. Peternak harus menderita kerugian akibat penanganan ransum yang tidak tepat. Dan kasus mikotoksikosis masih menjadi salah satu kasus penting di peternakan Indonesia.

Mikotoksin dan Mikotoksikosis
Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies kapang/jamur tertentu pada bahan pangan maupun ransum (Fox dan Cameron, 1989). Mikotoksin mulai dikenal sejak ditemukannya aflatoksin yang menyebabkan Turkey X-disease pada tahun 1960. Hingga saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin, lima jenis diantaranya sangat berpotensi menyebabkan penyakit pada ayam, yaitu aflatoksin, ochratoxin A, zearalenon, trichothecenes (deoksinivalenol, toksin T2) dan fumonisin. Menurut Bhat dan Miller (1977), sekitar 25-50% komoditas pertanian tercemar kelima jenis mikotoksin tersebut. Ayam yang mengkonsumsi ransum mengandung racun mikotoksin akan mengalami penyakit yang disebut dengan mikotoksikosis.
Di negara tropis seperti Indonesia, kontaminasi mikotoksin sangat sulit untuk dihindari karena kondisi iklim dengan tingkat kelembaban, curah hujan dan suhu yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan jamur penghasil mikotoksin. Indonesia beresiko tinggi terhadap ancaman mikotoksin karena metabolit sekunder jamur ini diproduksi pada kondisi lingkungan yang lembab (kelembaban di atas 70%) dan suhu antara 4-40°C (optimal 25-32°C). Selain itu, bahan pakan dengan kadar air di atas 15% dan banyaknya porsi broken seed (biji pecah) sangat potensial untuk ditumbuhi jamur (Reddy dan Waliyar, 2008). Mikotoksin akan semakin banyak diproduksi oleh jamur jika terjadi perubahan suhu, pH dan kelembaban secara mendadak. Mikotoksin juga memiliki sifat kimiawi yang sangat stabil. Bahkan terhadap perlakuan panas, penyimpanan dan sama sekali tidak terdegradasi saat memproses ransum.
  • Faktor yang mempengaruhi cemaran mikotoksin
    Keberadaan mikotoksin pada ransum dipengaruhi oleh beberapa faktor (Dharmaputra 2004), antara lain:
  1. Faktor biologi yaitu biji-bijian yang telah tercemar jamur penghasil toksin
  2. Faktor lingkungan, meliputi suhu, kelembaban dan kerusakan biji oleh serangga
  3. Pemanenan, termasuk tingkat kemasakan biji, suhu, kelembaban, pendeteksian dan pemipilan biji
  4. Penyimpanan, antara lain suhu dan kelembaban ruang simpan, pendeteksian dan pemisahan biji yang tercemar
  5. Pemrosesan seperti pengeringan dan sortasi biji
  • Mekanisme pencemaran jamur dan mikotoksin
    Bahan baku ransum, terutama jagung biasanya disimpan dahulu sebelum digunakan untuk menyusun ransum. Umumnya bahan baku tersebut disimpan dalam gudang dengan kondisi kelembaban tinggi sehingga berpotensi tercemar jamur dan mikotoksin yang dihasilkan. Proses pencemaran jamur pada bahan baku ransum, terutama jagung, dimulai saat spora (konidia) jamur beterbangan di udara terbawa oleh angin dan serangga, kemudian menempel secara langsung atau tidak langsung pada tanaman jagung. Bila suhu dan kelembaban sesuai maka jamur akan tumbuh dan berkembang biak pada tanaman jagung yang masih ada di lapangan. Ketika jagung dipanen, jamur dan mikotoksin yang dihasilkan sudah menginfeksi hasil panen. Spora jamur sebagian juga beterbangan di udara dan menjadi sumber infeksi selanjutnya (Cotty dan Jaime-Garcia 2007; Reddy dan Waliyar 2008).

Identifikasi Mikotoksin
Dari bermacam jenis mikotoksin, aflatoksin merupakan salah satu yang paling banyak dibicarakan di Indonesia. Tabel 1 menunjukkan beberapa mikotoksin yang relatif sering dijumpai. Mikotoksin dapat muncul disepanjang alur pengadaan ransum, mulai dari penanaman, panen sampai penyimpanan. Bisa jadi sebelum bahan baku ransum dipanen, sudah terkontaminasi mikotoksin.
Fusarium, penghasil mikotoksin jenis zaeralenone, trichothecenes, fumonisin, merupakan contoh jamur yang paling sering mengkontaminasi selama masa penanaman. Sedangkan jamur yang sering mengkontaminasi selama di gudang penyimpanan ialah Aspergillus dan Penicillium yang menghasilkan aflatoksin dan ochratoxin. Pada umumnya dalam keadaan normal, jamur-jamur tersebut hidup secara saprofit (menumpang pada inang tetapi tidak mengambil makanan dari inang tersebut). Akan tetapi, jika keadaan lingkungan sekitarnya berubah menjadi ideal yaitu suhu udara baik, kelembaban cukup tinggi dan ada substrat yang cocok untuk ditumpangi, maka jamur tersebut akan tumbuh subur dan memproduksi mikotoksin.
Berdasarkan data survei mikotoksin di Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan Vietnam) pada 2009, menunjukkan bahwa aflatoksin B1 dan fumonisin paling sering ditemukan mengkontaminasi bahan baku ransum (jagung, gandum, bekatul, bungkil kedelai, corn gluten meal, DDGS) maupun ransum jadi dengan persentase sampel positif mencapai 52% dan 58%. Inilah yang menjawab pernyataan kenapa aflatoksin paling familiar di peternak kita.
Cukup sulit untuk mendeteksi keberadaan berbagai macam mikotoksin secara cepat (rapid test kit) dalam ransum karena mikotoksin telah berikatan sebelumnya dengan glukosa, gula atau asam-asam lemak pada bahan baku ransum. Dengan analisa di laboratorium dapat menginformasikan apakah bahan baku ransum mengandung mikotoksin atau tidak. Beberapa metode uji yang dapat digunakan untuk mendeteksi mikotoksin ialah metode kromatografi (TLC/thin liqiud chromatography), spektrometri dan teknik antibodi monoklonal (Tabbu, 2002).

Bahaya Mikotoksin, Menekan Produksi dan Menurunkan Kekebalan
Berdasarkan SNI, level mikotoksin (aflatoksin,red) yang dapat ditolerir adalah 50 ppb. Meski demikian, penerapan zero tolerance (kadar aflatoksin nol) dalam ransum merupakan jalan terbaik karena kadar mikotoksin dalam kadar sangat kecil saja dapat menyebabkan penurunan performa, baik pada ayam pedaging maupun petelur.

Tabel 2. Kadar Aflatoksin dalam Persyaratan Mutu Bahan Baku Ransum
Ket : *Corn Gluten Meal
Sumber : Dirjen Peternakan dalam Trobos (2010)

Ayam pedaging yang mengkonsumsi ransum terkontaminasi mikotoksin terbukti pertumbuhannya terhambat. Hal ini pernah dibuktikan dengan percobaan yang dilakukan oleh Jones et al. (1982) pada tabel 3. Terlihat semakin besar konsentrasi aflatoksin, pertumbuhan ayam menjadi terhambat.
Tabel 3. Pengaruh Aflatoksin terhadap Performa Ayam Pedaging
Sumber : Jones et al. (1982)

Begitu pula pada ayam petelur. Adanya kontaminasi mikotoksin akan mengakibatkan penurunan produksi telur, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Aflatoksin berefek dalam menghambat proses pematangan sel telur sehingga jumlah produksi telur menurun. Kasus “blood spot” juga dapat dipicu oleh aflatoksin. Adanya aflatoksin mengakibatkan penurunan kadar protein serum, lipoprotein dan karotenoid. Akibatnya pembentukan protrombin dan proses koagulasi terganggu. Kondisi ini sangat berpotensi menyebabkan hemorrhage (perdarahan). Selain itu, aflatoksin bisa pula menghambat proses konversi vitamin D3 yang terkandung dalam ransum menjadi bentuk aktif sehingga proses metabolisme kalsium dan fosfor dalam tubuh ayam terganggu. Dampaknya kualitas kerabang telur akan menurun.
Kasus blood spot karena aflatoksin
(Sumber : WAAT Poultry)
Kematian akibat mikotoksin juga bisa terjadi. Hal ini seringkali disebabkan oleh rusaknya berbagai organ vital ayam, seperti paru-paru, kantung udara, hati maupun ginjal. Secara umum, adanya mikotoksin ini akan mengganggu proses pembentukan protein. Kondisi tersebut menimbulkan efek immunosuppressive (penurunan antibodi), dimana kita ketahui bahwa dalam pembentukan antibodi diperlukan ketersediaan protein yang tinggi. Akibatnya gangguan pembentukan protein akan menurunkan jumlah antibodi yang terbentuk. Menurunnya sistem kekebalan tubuh ayam membuat ayam menjadi lemah (mudah terinfeksi penyakit) dan pembentukan titer antibodi hasil vaksinasi menjadi kurang optimal. Mikotoksikosis juga dapat menyebabkan penurunan daya kerja penyerapan nutrisi di dalam usus halus sehingga menurunkan nilai efisiensi pakan.

Waspadai Gejala Mikotoksikosis
Efek tidak langsung dari mikotoksin kadang kala tidak diketahui oleh peternak secara pasti sehingga kerugian dari segi efisiensi ransum menjadi cukup besar, misalnya terjadi peningkatan nilai FCR secara tiba-tiba. Efek toksisitas (keracunan) mikotoksin tersebut tergantung dari intensitas dan waktu intoksifikasi (penyebaran racun) serta bersifat akumulatif. Peternak hendaknya patut curiga bila sering menemui ayamnya menunjukkan gejala serangan mikotoksikosis. Diantaranya adalah muntah, diare, luka pada rongga mulut, nafsu makan menurun serta pertumbuhan lambat dan tidak merata.
Ventrikulus mengalami erosi akibat aflatoksin
(Sumber : partnersah.vet.cornell.edu)

Hati pucat dan rapuh akibat aflatoksi
(Sumber : partnersah.vet.cornell.edu)

Infeksi aflatoksin kronis, terdapat bintik-bintik putih pada hati
(Sumber : Dok. Medion)

Apabila dilakukan bedah bangkai banyak ditemukan peradangan pada saluran pencernaan dan pernapasannya, seperti bintik-bintik putih pada paru-paru, ukuran bursa Fabrisius mengecil dan ginjal bengkak serta pucat. Pada kasus keracunan aflatoksin akut, bisa ditemukan hati membesar dengan kondisi berwarna pucat dan rapuh, sedangkan pada kasus kronis bisa ditemukan bintik-bintik putih pada hati. Untuk kasus infeksi jamur Fusarium sp., ditemukan adanya ventrikulus yang mengalami erosi. Untuk lebih tepat mendeteksi infeksi jamur tersebut, harus dilakukan pengambilan sampel dan deteksi langsung.
Bintik-bintik putih pada paru-paru karena serangan Aspergillus sp.
(Sumber : www.poultrysite.com)
Ginjal bengkak dan pucat
(Sumber :
www.poultrysite.com)
Ukuran bursa Fabrisius lebih kecil (b) akibat aflatoksin dibandingkan normal (a)
(Sumber : Anonimous)


Tindakan Pencegahan dan Menghadapi Mikotoksikosis
Kerugian yang besar akibat kontaminasi mikotoksin ini memaksa kita melakukan berbagai upaya untuk mencegahnya. Idealnya, pencegahan timbulnya mikotoksin sudah dilakukan saat fase pertumbuhan tanaman. Namun kita sebagai peternak sulit untuk mengaplikasikan. Lantas apa saja yang bisa dilakukan oleh peternak?
Saat jamur telah tumbuh pada bahan baku ransum maka bisa dipastikan mikotoksin telah terbentuk. Dan lagi, untuk membasmi jamur sangatlah mudah, misalnya dengan pemanasan, namun tidak demikian dengan mikotoksin yang memerlukan treatment yang lebih banyak, baik perlakuan fisik, kimia maupun biologi, sehingga kurang efisien.
Beberapa langkah pencegahan yang bisa kita lakukan ialah :
  • Kontrol lama penyimpanan ransum
    Daya simpan ransum ayam di dalam gudang adalah 21-30 hari sejak tanggal produksi (batch). Baik ransum bentuk crumble (butiran), pellet maupun mash (tepung), akan mengalami penurunan kualitas apabila melewati masa tersebut. Karena itu disarankan, idealnya peternak tidak menyimpan ransum lebih dari 14 hari atau 2 minggu sebagai antisipasi. Saran ideal ini mempertimbangkan, sebelum diterima peternak, ransum sempat mampir di gudang agen atau poultry shop (PS) terlebih dahulu. Menurut Goh (2010), selama proses penyimpanan, kualitas ransum dan bahan baku ransum akan terus menurun. Kecepatan penurunan kualitas ini akan 10 kali lebih cepat pada kondisi iklim tropis. Sebagai contoh, dari data penelitian diperoleh informasi bahwa jagung di berbagai wilayah Jawa pada 2008 dengan kadar air 16%, rata-rata kadar aflatoksinnya hanya 18,7 ppb. Namun setelah di tingkat pengepul (PS), kadarnya meningkat pesat menjadi 139,8 ppb (Trobos, 2010).
  • Atur manajemen penyimpanan bahan baku ransum
    Berikan alas (pallet) pada tumpukan bahan baku dan atur posisi penyimpanan sesuai dengan waktu kedatangannya (first in first out, FIFO). Untuk layout gudang peyimpanan, berikan jarak antar tumpukan ransum agar sistem FIFO bisa berjalan. Perhatikan suhu dan kelembaban tempat penyimpanan. Temperatur berkisar antara 300-340C, kelembaban tidak lebih dari 70% (Toto, 2011). Hindari penggunaan karung tempat ransum secara berulang dan bersihkan gudang secara rutin. Saat ditemukan serangga, segera atasi mengingat serangga mampu merusak lapisan pelindung biji-bijian sehingga bisa memicu tumbuhnya jamur.
Penggunaan pallet pada alas ransum
(Sumber : selfmixing.blogspot.com)

Menurut Toto (2011), beberapa tindakan lain dalam manajemen penyimpanan ransum yang baik antara lain ransum yang disimpan harus terhindar dari sinar matahari langsung, terhindar dari hujan dan bocor, tidak bercampur dengan bahan kimia seperti pupuk, pestisida dan racun tikus. Memiliki catatan stok yang rapi dan cukup jarak antara dinding terhadap tumpukan (atau antar tumpukan)
  • Melakukan pemeriksaan kualitas secara rutin
    Lakukan pemeriksaan kualitas bahan baku secara rutin, terutama saat kedatangan bahan baku atau ransum. Hendaknya kita tidak segan untuk me-reject jika ditemukan ransum yang terkontaminasi jamur, mengingat fenomena jamur ini seperti fenomena gunung es. Pengamatan secara visual terhadap bahan baku ransum hanya bisa dilakukan sebatas pengamatan terhadap jamur, bukan pada mikotoksinnya. Karena hal itu membutuhkan analisa kandungan mikotoksin dalam setiap bahan baku ransum yang digunakan. Perlu dilakukan pengujian laboratorium lebih lanjut. Alasannya, ketika bahan baku ransum sudah terkontaminasi jamur, besar kemungkinan tidak hanya memproduksi satu jenis toksin tetapi bisa lebih dari satu. Kalau ini terjadi, meski kandungan mikotoksin rendah tetapi karena terdapat beberapa jenis mikotoksin, maka akan memberikan dampak akumulasi dari kumpulan beberapa toksin tersebut. Dampaknya bisa sama parahnya dengan satu jenis mikotoksin yang terdapat dalam bahan baku ransum dalam jumlah besar. Selain itu, pastikan kadar airnya tidak terlalu tinggi (< 14%) sehingga bisa menekan pertumbuhan jamur
  • Jika menggunakan mixer untuk mencampur ransum, bersihkan alat tersebut secara rutin, misalnya 2-3 hari sekali. Sisa ransum, terutama yang berupa serbuk yang terdapat pada kedua alat itu akan menjadi sumber kontaminasi jamur pada bahan baku ransum lainnya
  • Berikan bahan penghambat jamur
    Saat kondisi cuaca tidak baik, terutama musim penghujan, tambahkan mold inhibitors (penghambat pertumbuhan jamur), seperti asam organik atau garam dari asam organik tersebut. Asam propionat merupakan mold inhibitors yang sering digunakan

Saat jamur dan mikotoksin telah ditemukan mengkontaminasi ransum dan ayam sudah terlanjur keracunan mikotoksin, beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menekan efek mikotoksin ini antara lain :
  • Membuang ransum yang terkontaminasi jamur dengan konsentrasi tinggi, mengingat mikotoksin ini sifatnya sangat stabil
  • Jika yang terkontaminasi sedikit, bisa dilakukan pencampuran dengan bahan baku atau ransum yang belum terkontaminasi. Tujuannya tidak lain untuk menurunkan konsentrasi mikotoksin. Namun yang perlu diperhatikan ialah bahan baku ini hendaknya segera diberikan ke ayam agar konsentrasi mikotoksin tidak meningkat
  • Penambahan toxin binder (pengikat mikotoksin) pada ransum, seperti zeolit, bentonit, hydrate sodium calcium aluminosilicate (HSCAS) atau ekstrak dinding sel jamur. Antioksidan, seperti butyrated hidroxy toluene (BHT), vitamin E dan selenium juga bisa ditambahkan untuk mengurangi efek mikotoksin, terutama aflatoksin, DON dan T-2 toxin
  • Manipulasi kandungan nutrisi ransum juga dapat dilakukan untuk mengurangi efek mikotoksin, terlebih lagi nutrisi yang dibutuhkan jamur untuk pertumbuhan diambil dari nutrisi ransum. Selain itu ada beberapa mikotoksin yang bisa mengurangi penyerapan beberapa zat nutrisi. Suplementasi vitamin, terutama vitamin larut lemak (A, D, E, K), asam amino (metionin dan penilalanin) maupun meningkatkan kadar protein dan lemak dalam ransum juga mampu menekan kerugian akibat mikotoksin. Pemberian multivitamin dosis tinggi seperti Fortevit bisa menjadi solusi

Persoalan terkait jamur dan mikotoksin yang mencemari ransum ayam memang bukan sesuatu hal yang sepele. Sedikit saja ransum tercemar, maka peternak akan merugi karena ransum memegang biaya produksi tertinggi pada usaha peternakan. Maka, kunci pencegahan utama untuk menghindari kejadian tersebut terletak pada penerapan manajemen peyimpanan ransum yang baik. Salam. By: Pakan Ikan Madiun, Sumber: info.medion.co.id

HALAMAN FACEBOOK