Apa perbedaan itik dengan bebek?
Apa perbedaan itik dengan bebek?
Unggas air memiliki berbagai ragam dan
jenis, mulai dari unggas air liar hingga unggas air yang diternakkan.
Dari beragam unggas air itu terdapat unggas air yang mempunyai arti
penting bagi kehidupan manusia, karena mampu memenuhi salah satu
kebutuhan pangan manusia. Jenis unggas air ini adalah unggas air dengan
bentuk tubuh yang kecil ramping dengan gerakan lincah yang dikenal atau
sering disebut sebagai itik, serta unggas air yang lebih gemuk dan
bergerak lamban yang kemudian diberi nama bebek. Sayang sekali banyak
orang yang tidak bisa membedakan itik dengan bebek. Hal ini dapat
dimaklumi karena belum ada bahasa Indonesia yang tepat untuk kedua
unggas air yang mirip, tetapi berbeda fungsi itu. Kata bebek berasal
dari bahasa daerah dan di pedesaan itik dan bebek diangga sama saja
dengan satu sebutan yaitu bebek.
Sebenarnya itik sudah lama dipelihara orang, karena itik yang ada sekarang atau Anas domesticus ini berasal dari itik liar
(Mallard duck) atau Anas boscha atau belibis. Dalam catatan sejarah,
sejak zaman kerajaan dahulu sudah ada yang memelihara itik, bahkan
peternakan itik sudah tampak pada zaman Majapahit. Wajar bila mulai dari
Propinsi Aceh hingga Irian Jaya terdapat peternakn itik, apalagi di
daerah yang banyak airnya seperti Kalimantan, daerah Pantai Utara Pulau
Jawa dan Madura. Penyebarannya yang merata dan sudah menjadi bagian dari
kehidupan masyarakat menunjukkan itik sudah diterima keberadaannya oleh
masyarakat. Bahkan di pantai utara Pulau Jawa mudah dilihat itik yang
diternakkan dengan sistem berpindah secara swalayan (system gembala).
Semua itu hanya mengharapkan telurnya karena memang telur itik sudah
lama dikenal masyarakat Indonesia.
Peternakan itik di indonesia memang
berawal dari sistem berpindah dan sistem kandang terapung. Dalam hal ini
sistem pemeliharaan swalayan masih besar peranannya. Pada sistem ini,
semua aktifitas itik diserahkan pada itik itu sendiri. Pemelihara hanya
mengawal dan mengarahkan itik ke tempat yang banyak makanan, tetapi apa
yang dimakan itik tidak menjadi perhatiannya. Mulai dari sisa panenan
padi hingga bangkai ikut dimakan. Hal-hal semacam inilah yang
menyebabkan produksi itik sangat rendah dan menghasilkan telur yang
berbau amis. Bukan itiknya yang salah, tetapi cara memelihara seperti
itulah yang menghasilkan telur yang kurang disukai pembeli. Kelemahan
sistem swalayan itu diperbaiki oleh peternak dengan kedasaran yang tidak
disengaja, karena beternak dengan ratusan itik dan kemudian digiring
serta berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain kini sudah tidak
dimungkinkan lagi. Banyak persoalan yang timbul, di samping biaya
produksi justru semakin meningkat.
Sistem beternak terkurung mulai menjadi
perhatian peternak itik, apalagi dengan mulai berkembangnya peternakan
ayam ras. Sistem beternak pun berganti, tetapi itiknya tetap saja itik
lokal yang dikenal sejak zaman kerajaan Hindu dahulu. Walaupun demikian
sistem beternaknya telah menerapkan ilmu peternakan yang benar.
Peternakan itik seperti ini mulai berkembang di pantai Utara Pulau Jawa,
dibeberapa tempat di Jawa Barat, Jawa Timur dan daerah lainnya.
Menerapkan prinsip-prinsip beternak yang benar berdasarkan ilmu
peternakan akan menjamin produksi yang sesuai dengan kemampuan itik
tersebut. Tetapi belum tentu hasil yang tinggi itu akan membawa
pemiliknya kepada keuntungan usaha. Hasil produksi harus diselaraskan
dengan kemampuan manajemen bisnis sebagai pengendali faktor-faktor di
luar unsur teknis produksi dan hasilnya dijual sesuai dengan
kaidah-kaidah bisnis yang mapan. Inilah yang dimaksud dengan beternak itik secara intensif yang dikelolah secara komersial.
Sumber: Rasyaf. M, Dr, Ir, Beternak Itik Komersial ,Kanisius: Yogyakarta,1993
http://far71.wordpress.com