Banyak asumsi atau anggapan terkait
pakan ikan yang berkembang di kalangan pembudidaya lele. Dengan mempraktikkan asumsi
itu, mereka percaya tubuh ikan berkumis ini lebih cepat besar.
Menurut Muhammad Amir Shobirin, Ketua Penelitian
dan Pengembangan (litbang) Forum Komunikasi Mina Pantura (FKMP), Pekalongan,
Jateng, asumsi yang banyak diyakini pembudidaya, di antaranya jatah pakan adlibitum, pakan kadar protein tinggi,
makan pada malam hari karena lele bersifat nokturnal, dan menggunakan pakan
pabrikan identik dengan kerugian.
“Pembudidaya kita sering terjebak
dengan hukum adlibitum, makan
sekenyang-kenyangnya. Semakin banyak ikan makan, akan semakin besar,” ujar
Amir, begitu ia disapa. Lalu, pembudidaya juga menuntut pakan ikan berprotein
tinggi. Menurut mereka, protein tinggi menghasilkan daya cerna yang tinggi.
”Ada yang suka berepot-repot ngasih
makan malam karena saat malam ikan lebih aktif bergerak. Mereka beranggapan
ikan itu nokturnal,” katanya di acara Forum Budidaya Akuakultur 2012 di Jakarta
(13/12).
Cukup 80%
Kenyang
Tidak semua asumsi itu benar. ”Ketika
kita melakukan budidaya, kata dasarnya adalah rekayasa. Kita merekayasa
perairan, merekayasa benih, pakan,” terang Amir. Menurutnya, budidaya lele akan
optimal dengan membuat program pakan berupa pengaturan dosis dan frekuensi
pakan serta penggunaan pakan berkualitas. Tim litbang FKMP membandingkan lele
yang diberi makan sekitar 80% dari daya kenyang dengan lele yang diberi makan adlibitum (sekenyangnya).
”Ternyata, lebih
cepat besar yang 80% kenyang. Ketika makan 80%, akan memberi waktu lambung
menghasilkan enzim pemecah protein, karbohidrat, dan lemak,” papar Sarjana
Ekonomi Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta ini. Untuk menghasilkan 1 ton
lele dengan metode adlibitum, imbuh
dia, diperlukan 1 ton pakan selama dua bulan pemeliharaan. Sedangkan dengan pemberian
pakan 80% kenyang, hanya butuh 8 kuintal.
Lele yang
kekenyangan cenderung berdiam menggantung di permukaan sehingga mudah diserang
parasit. Dan jika terjadi sesuatu yang mengejutkan, pakan akan dimuntahkan kembali.
Protein tinggi
pun tidak menjamin keberhasilan produksi lele. Pakan memiliki daya cerna tinggi
jika terbuat dari bahan-bahan yang layak dikonsumsi manusia. Apalagi, industri
pakan skala rumah tangga malah menggunakan tepung garam untuk menaikkan kadar
protein. Sedangkan pemberian pakan pada malam hari tidak sepenuhnya tepat. Lele
naik ke atas permukaan air karena kondisi air kolam abnormal, kadar oksigen terlarut
rendah dan suhu air turun. Saat suhu turun, metabolisme lele melambat. Karena
itu, tandas Amir, ”Malam tanpa makan pun nggak
ada masalah.”
Metabolisme ikan
berkisar 8-10 jam. Untuk itu, pemberian pakan
cukup dua kali, pagi dan sore hari. Apalagi, lele hanya memanfaatkan sekitar
30%-32% kadar C, N, P yang didapat dari pakan. Sisanya terbuang lewat ekskresi
dan feses. Potensi protein yang cukup besar ini terbuang ke kolam dan
berpotensi menjadi amoniak, nitrit, dan H2S yang bisa meracuni ikan.
Jika terjadi
kelebihan pakan, akan ada kerugian finansial dan kerusakan ekologi kolam. Bila setiap
hari pakan terbuang sebanyak 10 kg dengan harga Rp8.000/kg, potensi kerugiannya
Rp80 ribu/hari. Dalam hitungan bulan, kerugiannya lumayan besar. Selain
itu, buangan pakan di kolam memunculkan timbunan limbah organik yang merusak
habitat ikan. Ciri-cirinya, air kolam berwarna kecokelatan, air berbusa, hingga
air berwarna merah.
Porsi makan juga disesuaikan dengan cuaca. ”Misal kita
standarkan porsi makan sore 1 kg. Saat cuaca mendung terjadi penurunan kadar
oksigen di kolam, nafsu makan turun. Kalau dipaksa 1 kg sama aja merusak ikan,
merusak air,” ulasnya. Setelah kondisi memungkinkan, porsi makan dapat
ditambah. Menurut pembudidaya lele itu, dari 1 gr nutrisi pakan yang diserap
ikan, 40% dipakai untuk adaptasi lingkungan, 20% untuk mempertahankan diri dari
penyakit, 20% aklimatisasi, sisanya untuk pertumbuhan.
Puasa Mingguan
Lele dianjurkan
puasa sehari dalam seminggu. Puasa memberi kesempatan organ pencernaan untuk
istirahat, memaksimalkan fungsi detoks seluler atau peluruhan racun dan protein
cacat yang disimpan tubuh, terjadi pergantian sel-sel organ pencernaan.
Dampaknya, organ pencernaan lebih bersih dan sehat. Selain itu, mengurangi bau
pellet pada malam hari dan memberi waktu bagi organisme di kolam untuk mengurai
limbah organik. Ketika puasa, lele memanfaatkan pakan alami berupa flok. ”Jadi
tidak 100% puasa, dia makan beberapa plankton atau detritus yang tersuspensi di
dasar kolam,” ucap pria kelahiran 28 Juli 1974 ini.
Di samping puasa,
tim FKPM juga menggunakan pakan fermentasi dari bakteri yang mampu memotong
rantai peptida protein. Ketika difermentasi selama dua hari, terjadi pemotongan
rantai protein, diubah menjadi asam amino, hingga proses membelah diri. Menurut
Amir, bakteri merupakan sumber protein paling bagus, sampai 60%. ”Ketika
terjadi perkembangbiakan dalam pakan, kita harapkan ada peningkatan nilai
protein. Karena protein rantai panjang juga dipotong jadi pendek, ada daya
cerna yang lebih cepat. Dan kenyataan di lapangan menunjukkan bagus,” urainya.
Pembudidaya harus
memperhatikan faktor penyebab pakan tidak efisien. Yaitu, osmoregulasi,
kerusakan media, benih tidak unggul, pemberian pakan tidak sesuai jam biologis
ikan, DO terlalu rendah, suhu rendah, dan gangguan stres fisik seperti cahaya,
suara, dan temperatur.
Menurut Amir,
banyak pembudidaya tidak tahu di dalam tubuh ikan ada tekanan (osmoregulasi)
sampai 6 ppt. Ketika salinitas 0 dan media tidak dapat asupan apapun, ikan akan
banyak minum dan mengeluarkan banyak air. Akibatnya, air yang digunakan tidak
efisien. Penanggulangannya dengan penggaraman sebanyak 3 kg/m3 air.
”Bakteri air tawar akan lisis, terurai. Jadi nggak ada cerita kena penyakit,” pungkasnya.
Sumber : http://bit.ly/167tRus, by Windi Listianingsih