I. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Peternakan merupakan sumber pangan strategis sepanjang masa yang menyediakan daging, susu, telur dan produk-produk olahannya. Karena itu pembangunan pertanian berbasis sektor peternakan sangat strategis untuk dikembangkan.
Populasi ternak dari tahun ke tahun terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk yang semakin bertambah.
Berdasarkan
data dari Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian RI
jumlah populasi Ruminansia, Non-Ruminansia dan Unggas di Indonesia pada
tahun 2008 adalah berturut-turut 40.667.000 ekor, 8.579.000 ekor dan
1.528.792.000 ekor.
Seiring
dengan pertumbuhan jumlah populasi ternak, pertumbuhan industri pakan
ternak juga berkembang dengan pesat. Pada tahun 2007, pabrik pakan
ternak yang tersebar di berbagai propinsi di Indonesia memproduksi pakan
ternak sebanyak 7.800.033 ton.
Tingginya
permintaan pakan ternak pabrikan, membuat para ahli nutrisi pakan
ternak berlomba-lomba mencari formulasi produk pakan yang dapat
menghasilkan produk daging, susu, telur berlipat ganda.
Di
negara barat seperti Jerman, Perancis, Swedia, USA sudah sejak lama
menggunakan zat promotor seperti antibiotik untuk meningkatkan produksi
ternaknya dan sejak digunakannya antibiotik sebagai senyawa promotor
pertumbuhan dalam pakan ternak, telah terjadinya peningkatan pendapatan
peternak berkat kemampuan senyawa tersebut mengkonversikan nutrisi dalam
pakan secara efisien dan efektif. Namun akhir-akhir ini penggunaan
senyawa antibiotik dalam ransum ternak telah menjadi perdebatan sengit
oleh para ilmuan akibat efek buruk yang ditimbulkan tidak hanya bagi
ternak tetapi juga bagi konsumen yang mengkonsumsi produk ternak
tersebut melalui residu yang ditinggalkan baik pada daging, susu maupun
telur (Samadi, 2004).
Di
dalam tubuh makhluk hidup terutama di dalam saluran pencernaannya
terdapat bakteri-bakteri baik yang bersifat menguntungkan maupun
merugikan. Keseimbangan antara bakteri-bakteri yang menguntungkan dan merugikan sepatutnya menjadi perhatian lebih demi terciptanya hidup yang sehat bagi manusia dan produksi yang tinggi bagi ternak.
Keseimbangan populasi bakteri dalam saluran pencernaan (eubiosis) hanya dapat diraih apabila komposisi antara bakteri yang menguntungkan seperti Bifidobacteria dan Lactobacilli dan yang merugikan seperti Clostridia
setidaknya 85% berbanding 15% (Samadi, 2004). Lebih lanjut Samadi
(2004) menjelaskan bahwa dengan komposisi tersebut fungsi “barrier
effect“ mikroflora yang menguntungkan dalam tubuh makhluk hidup dengan
cara mencegah terbentuknya koloni bakteri phatogen (colonisation resistence) bisa teroptimalkan. Ketidakseimbangan populasi antara bakteri yang menguntungkan dan merugikan (dysbiosis) berakibat turunnya produksi ternak.
Kehadiran antibiotik dalam saluran pencernaan dapat mengubah keseimbangan bakteri yang menguntungkan dan yang merugikan. Antibiotik dapat
menekan pertumbuhan bakteri-bakteri phatogen yang berakibat
melambungnya populasi bakteri menguntungkan dalam saluran pencernaan.
Tingginya mikroflora menguntungkan tersebut dapat merangsang
terbentuknya senyawa-senyawa antimikrobial, asam lemak bebas dan zat-zat
asam sehingga terciptanya lingkungan kurang nyaman bagi pertumbuhan
bakteri phatogen (Samadi, 2004).
Namun
disayangkan penggunaan antibiotik berakibat buruk bagi ternak
dikarenakan resistensi ternak terhadap jenis-jenis mikro-organisme
phatogen tertentu. Hal ini telah terjadi pada peternakan unggas di North
Carolina (Amerika Serikat) akibat pemberian antibiotik tertentu, ternak
resisten terhadap Enrofloxacin yang berfungsi untuk membasmi bakteri Escherichia coli.
Dibagian lain residu dari antibiotik akan terbawa dalam produk-produk
ternak seperti daging, telur dan susu dan akan berbahaya bagi konsumen
yang mengkonsumsinya.
Seperti
dilaporkan oleh Rusiana dengan meneliti 80 ekor ayam broiler di
Jabotabek menemukan 85% daging ayam broiler dan 37% hati ayam tercemar
residu antibiotik tylosin, penicilin, oxytetracycline dan kanamycin
(www.poultryindonesia.com). Oleh karena itu berbagai upaya telah
dilakukan bertahun-tahun untuk mencari bahan tambahan dalam pakan ternak
sebagai pengganti antibiotik yang berbahaya tersebut (Sumardi, 2002).
Enzim
adalah salah satu bahan alternatif yang dapat digunakan untuk
memperbaiki kualitas pakan ternak yang aman untuk ternak, manusia yang
mengkonsumsi hasil ternak maupun bagi lingkungan.
2. Tujuan
Tulisan
ini menyajikan uraian mengenai manfaat penggunaan enzim dan prospeknya
dalam industri pembuatan pakan ternak yang aman dan efisien.
II. PERAN ENZIM DALAM INDUSTRI PAKAN TERNAK
1. Proses Pencernaan Hewan Ternak
Pencernaan adalah proses lanjutan dari pengambilan pakan (feed intake) oleh makhluk hidup sebagai persiapan untuk proses penyerapan nutrien yang akan dimanfaatkan lebih lanjut oleh sel tubuh. Dalam proses pencernaan terjadi perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan selama di dalam alat pencernaannya.
Proses
pencernaan pada hewan pada dasarnya dibagi menjadi dua yaitu pencernaan
hidrolitik atau enzimatis dan pencernaan fermentatif.
Pencernaan hidrolitik atau enzimatis:
pencernaan yang dilakukan oleh enzim-enzim pencernaan. Pada pencernaan
hidrolitik ini polimer dipecah menjadi monomer, misalnya karbohidrat
dipecah menjadi glukosa, atau protein dipecah menjadi asam amino.
Pencernaan fermentatif:
Proses pencernaan yang dilakukan atas bantuan mikroba. Pada proses
pencernaan fermentatif zat makanan dirombak menjadi senyawa lain yang
berbeda sifat kimianya sebagai zat intermediate.
Proses
pencernaan pada hewan berbeda satu dengan yang lainnya dan sangat
berhubungan dengan alat pencernaan yang dipunyai oleh hewan tersebut. Perbedaan alat pencernaan hewan dapat dibedakan menjadi :
Pencernaan : Karnivora:
kelompok hewan pemakan daging (makanan asal hewan), mempunyai gigi
taring untuk mencabik makanannya, perutnya tunggal (monogastrik) dan
sederhana
Herbivora
: kelompok hewan pemakan tumbuhan. Alat pencernaan herbivora lebih
panjang dan lebih kompleks serta telah mengalami modifikasi yang
memungkinkan herbivora dapat menggunakan serat (selulosa dan
polisakarida lain seperti hemiselulosa) dalam jumlah reletif banyak
Omnivora: kelompok
hewan yang memiliki berperut tunggal. Alat pencernaannya relatif lebih
panjang, lebih kompleks dan cecum-colonnya (usus besar) lebih berkembang karena sebagian pakannya adalah nabati yang mengandung serat.
Monogastrik:
hewan berperut tunggal dan sederhana. Alat pencernaannya terdiri dari
mulut, esophagus, perut, usus halus, usus besar dan rektum. Sistem
pencernaannya disebut simple monogastric system.
Poligastrik:
hewan berperut ganda (kompleks) seperti ruminansia sejati (hewan yang
mempunyai rumen) yaitu sapi kerbau, kambing, domba, rusa, anoa, antelope
dan pseudo-ruminant (onta, llama). Sistem pencernaannya disebut pollygastric system.
Proses
pencernaan makanan pada ternak ruminansia relatif lebih kompleks
dibandingkan proses pencernaan pada jenis ternak lainnya. Perut ternak
ruminansia dibagi menjadi 4 bagian, yaitu retikulum (perutjala), rumen
(perut beludru), omasum (perut bulu), dan abomasum (perut sejati). Dalam
studi fisiologi ternak ruminasia, rumen dan retikulum sering dipandang
sebagai organ tunggal dengan sebutan retikulorumen. Omasum disebut
sebagaiperut buku karena tersusun dari lipatan sebanyak sekitar 100
lembar. Fungsi omasum belum terungkap dengan jelas, tetapi pada organ
tersebut terjadi penyerapan air, amonia, asam lemak terbang dan
elektrolit. Pada organ ini dilaporkan juga menghasilkan amonia dan
mungkin asam lemak terbang (Frances dan Siddon, 1993).
Termasuk
organ pencernaan bagian belakang lambung adalah sekum, kolon dan
rektum. Pada pencernaan bagian belakangtersebut juga terjadi aktivitas
fermentasi.
Proses
pencernaan pada ternak ruminansia dapat terjadi secara mekanis di
mulut, fermentatif oleh mikroba rumen dan secarahidrolis oleh
enzim-enzim pencernaan.
Pada
sistem pencernaan ternak ruminasia terdapat suatu proses yang disebut
memamah biak (ruminasi). Pakan berserat (hijauan) yang dimakanditahan
untuk sementara di dalam rumen. Pada saat hewan beristirahat, pakan yang
telah berada dalam rumen dikembalikan ke mulut (proses regurgitasi),
untuk dikunyah kembali (proses remastikasi), kemudian pakan ditelan
kembali (proses redeglutasi). Selanjutnya pakan tersebut dicerna lagi
oleh enzim-enzim mikroba rumen. Kontraksi retikulorumen yang
terkoordinasi dalam rangkaianproses tersebut bermanfaat pula untuk
pengadukan digesta inokulasi danpenyerapan nutrien. Selain itu kontraksi
retikulorumen juga bermanfaat untukpergerakan digesta meninggalkan
retikulorumen melalui retikulo-omasal orifice (Tilman et al. 1982).
2. Pengertian Enzim dan cara Kerjanya
Enzim terdapat secara alami pada semua organisme hidup dan berperan sebagai katalisator dalam reaksi kimia. Istilah
enzim mulai diperkenalkan pertama kali tahun 1878 oleh Kuhne yang
mengisolasi senyawa enzim dari ragi sedangkan konsep kerja enzim
dikembangkan oleh Emil Fischer di tahun 1894 yang mempopulerkan istilah
“gembok dan kunci” untuk menjelaskan interaksi substrat enzim.
Saat ini lebih dari 3000 enzim telah diidentifikasi. Seperti halnya protein, enzim juga tersusun dari rantai asam amino. Enzim
ini akan mempercepat reaksi kimia dengan cara menempel pada substrat
dan keseluruhan proses reaksi akan stabil dan menghasilkan kompleks
enzim substrat. Dengan bantuan enzim ini, energi yang digunakan untuk menggerakan proses reaksi kimia menjadi lebih kecil. Enzim
akan bekerja pada kondisi lingkungan yang tidak mengubah struktur
aslinya yaitu yang paling baik pada suhu dan pH menengah.
Alasan
utama penggunaan enzim dalam industri makanan ternak adalah untuk
memeperbaiki nilai nutrisinya. Semua binatang menggunakan enzim dalam
mencerna makanannya, dimana enzim tersebut dihasilkan baik oleh biantang
itu sendiri maupun oleh mikroorganisme yang ada pada alat
pencernaannya. Namun demikian proses pencernaan tidak
mencapai 100 % dari bahan makanan yang dicerna, karena itu perlu ada
suplemen enzim pada pakan untuk meningkatkan efisiensi pencernaannya.
Di
dalam sistem produksi peternakan, pakan ternak menempati komponen biaya
yang paling besar karena itu keuntungan peternakan akan tergantung dari
biaya reltif dan biaya nilai nutrisi pada makanan. Ada empat alasan utama untuk menggunakan enzim dalam industri pakan ternak (Bedford dan Partridge, 2001) yaitu:
· Untuk memecah faktor anti-nutrisi yang terdapat di dalam campuran makanan. Kebanyakan dari snyawa tersebut tidak mudah dicerna oleh enzim endogeneous di dalam ternak, dapat mengganggu pencernaan normal.
· Untuk
meningkatkan ketersediaan pati, protein dan garam mineral yang terdapat
pada dinding sel yang kaya serat, karena itu tidak mudah dicerna oleh
enzim pencernaan sendiri atau terikat dalam ikatan kimia sehingga ternak
tidak mampu mencerna (contoh: pospor dalam asam pitat)
· Untuk merombak ikatan kimia khusus dalam bahan mentah yang biasanya tidak dapat dirombak oleh enzim ternak itu sendiri.
· Sebagai
suplemen enzim yang diproduksi oleh ternak muda yang mana sistem
pencernaannya belum sempurna sehingga enzim endogeneous kemungkinan
belum mencukupi.
III. JENIS-JENIS ENZIM DALAM INDUSTRI PAKAN TERNAK
Terdapat
empat type enzim yang mendominasi pasar pakan ternak saat ini yaitu
enzim untuk memecah serat, protein, pati dan asam pitat (Sheppi, 2001).
1. Enzim Pemecah Serat
Keterbatasan
utama dari pencernaan hewan monogastrik adalah bahwa hewan-hewan
tersebut tidak memproduksi enzim untuk mencerna serat. Pada ransum
makanan ternak yang terbuat dari gandum, barley, rye atau triticale
(sereal viscous utama), proporsi terbesar dari serat ini adalah
arabinoxylan dan ß-glucan yang larut dan tidak larut (White et al.,
1983; Bedford dan Classen, 1992 diacu oleh Sheppy, 2001). Serat
yang dapat larut dan meningkatkan viskositas isi intestin yang kecil,
mengganggu pencernaan nutrisi dan karena itu menurunkan pertumbuhan
hewan.
Kandungan serat pada gandum dan barley sangat bervariasi tergantung pada varitasnya, tempat tumbuh, kondisi iklim dan lain-lain. Hal ini dapat menyebabkan variasi nilai nutrisi yang cukup besar di dalam ransum makanan. Untuk
memecah serat, enzim-enzim xylanase dan ß-glucanase) dapat menurunkan
tingkat variasi nilai nutrisi pada ransum dan dapat memberikan perbaikan
dari pakan ternak sekaligus konsistensi responnya pada hewan ternak. Xylanase dihasilkan oleh mikroorganisme baik bakteri maupun jamur.
Penelitian pemanfaatan xilanase untuk membuat ransum ayam boiler telah dilakukan oleh Van Paridon et al. (1992),
dengan melihat penga-ruhnya terhadap berat yang dicapai dan efisiensi
konversi makanan ser-ta hubungannya dengan viskositas pencernaan. Hal
yang sama juga di-lakukan oleh Bedford dan Classen (1992), yang
melaporkan bahwa ransum makanan ayam boiler yang diberi xilanase yang
berasal dari T.longibrachiatum mampu mengurangi viskositas pencernaan, sehingga meningkatkan pencapaian berat dan efisiensi konversi makanan.
Pius
P Ketaren, T. Purwadaria dan A. P Sinurat dari Balai Penelitian Ternak,
Bogor, juga melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat pengaruh
suplementasi enzim pemecah serat kasar terhadap penampilan ayam
pedaging. Suplementasi
diberikan dengan menambahkan enzim xilanase kedalam ransum basal dedak
atau polar. Penelitian ini menggunakan 120 anak ayam pedaging umur
sehari yang dialokasikan secara acak kedalam 20 kandang yang
masing-masing berisi 6 ekor. Ayam-ayam tersebut dikenai 4 perlakuan.
Perlakuan I, ayam diberi ransum basal 30% dedak (RBD). Perlakuan II,
ransum RBD + 0,01% enzim xilanase (RBD + E). Perlakuan III diberi ransum
basal 30% polar (RBP) dan perlakuan IV dengan ransum RBP + 0,01% enzim
xilanase (RBP + E). Setiap perlakuan diulang 5 kali dan tiap ulangan
terdiri dari 6 ekor. Seluruh kandang/pen ditempatkan dalam bangunan
tertutup yang dilengkapi dengan lampu penerang, pemanas dan pengatur
sirkulasi udara, yang diatur sesuai dengan kebutuhan. Sedangkan ransum
dan air minum disediakan secara tak terbatas. Anak ayam juga divaksin
pada umur 4 dan 21 hari untuk mencegah ND dan pada umur 14 hari untuk
mencegah Gumboro. Konsumsi ransum, pertambahan bobot badan (PBB), feed
conversion ratio (FCR) dan mortalitas digunakan sebagai parameter dan
diukur setiap minggu selama 5 minggu perlakuan.
Hasil
riset memperlihatkan PBB ayam pedaging yang diberi ransum basal polar
dengan suplementasi enzim cenderung tumbuh lebih cepat dibanding ayam
pedaging yang memperoleh ransum lain. Dalam penelitian ini, suplementasi
enzim xilanase sebanyak 0,01% kedalam ransum basal dedak maupun polar
tidak berpengaruh negatif terhadap penampilan broiler. Hal
ini tampak dari tidak adanya mortalitas selama penelitian berlangsung.
FCR ayam pedaging yang diberi ransum basal polar dengan suplementasi
enzim secara nyata lebih baik dibanding ransum FCR ayam pedaging yang
diberi ransum lain.
Berdasarkan
penampilan ayam pedaging tersebut terlihat bahwa suplementasi enzim
kedalam ransum basal polar mampu meningkatkan efisiensi penggunaan
ransum sekitar 4%, sebaliknya suplementasi enzim kedalam ransum basal
dedak tidak mampu memperbaiki efisiensi penggunaan ransum ayam pedaging.
Ini membuktikan bahwa enzim xilanase yang digunakan dalam penelitian
ini lebih efektif apabila digunakan pada polar, yang diketahui
mengandung lebih banyak xilan/pentosan atau glucan dibanding dedak.
Peningkatan
penampilan ayam pedaging yang diberi ransum basal polar dengan
suplementasi enzim xilanase ini, kemungkinan juga berkaitan dengan
peningkatan kecernaan protein dan lemak disamping kenaikan kecernaan
serat kasar. Dengan peningkatan kecernaan gizi dan pertumbuhan unggas
tersebut, dapat mendorong peningkatan penggunaan bahan pakan lokal yang
tersedia di dalam negeri. Kondisi ini diharapkan akan mampu meningkatkan kemandirian perunggasan nasional.( www.poultryindonesia.com)
2. Enzim Pemecah Protein
Berbagai bahan mentah yang digunakan sebagai bahan pakan ternak mengandung protein. Terdapat variasi kualitas dan kandungan protein yang cukup besar dari bahan mentah yang berbeda. Dari
sumber bahan protein primer seperti kedelai, beberapa faktor anti
nutrisi seperti lectins dan trypsin inhibitor dapat memicu kerusakan
pada permukaan penyerapan, karena ketidaksempurnaan proses pencernaan. Selain
itu belum berkembangnya sistem pencernaan pada hewan muda menyebabkan
tidak mampu menggunakan simpanan protein yang besar di dalam kedelai
(glycin dan ß-conglycinin).
Penambahan
protease dapat membantu menetralkan pengaruh negatif dari faktor
anti-nutrisi berprotein dan juga dapat memecah simpanan protein yang
besar menjadi molekul yang kecil dan dapat diserap.
3. Enzim pemecah Pati
Jagung merupakan sumber pati yang sangat baik sehingga para ahli gizi menyebutnya sebagai bahan mentah standard emas. Sebagian besar ahli gizi tidak mempertimbangkan pencernaan jagung adalah jelek: kenyataannya bahwa 95 % dapat dicerna. Namun
hasil penelitian Noy dan Sklan (1994) yang diacu oleh Sheppi (2001),
pati hanya dicerna tidak lebih dari 85 % pada ayam broiler umur 4 dan 21
hari. Penambahan enzim amylase pada makanan ayam dapat
membantu mencerna pati lebih cepat di intestin yang kecil dan pada
gilirannya dapat memperbaiki kecepatan pertumbuhan karena adanya
peningkatan pengambilan nutrisi.
Pada masa aklimatisasi, anak ayam sering menderita shok karena perubahan nutrisi, lingkungan dan status imunitasnya. Penambahan
amilase, biasanya juga bersamaan dengan penambahan enzim lain, untuk
meningkatkan produksi enzim endogeneous telah terbukti dapat memperbaiki
pencernaan nutrisi dan penyerapannya.
4. Enzim Pemecah Asam pitat
Phospor
merupakan unsur esensial untuk semua hewan, karena diperlukan untuk
mineralisasi tulang, imunitas, fertilitas dan juga pertumbuhan. Swine dan Unggas hanya dapat mencerna Phospor dalam bentuk asam pitat yang terdapat dalam sayur sekitar 30-40 %. Phospor yang tidak dapat dicerna akan keluar bersama kotoran (feces) dan menimbulkan pencemaran.
Enzim
pytase dapat memecah asam pytat, maka penambahan enzim tersebut pada
pakan ternak akan membebaskan lebih banyak phospor yang digunakan oleh
hewan.
Enzime phytase banyak dikenal dapat menghilangkan pengaruh anti nutrisi asam phitat. Penggunaan enzime phytase dalam
pakan akan mengurangi keharusan penambahan sumber-sumber fosfor
anorganik mengingat fosfor asal bahan baku tumbuhan terikat dalam asam
phitat yang mengurangi ketersediaannya dalam pakan. Padahal
suplementasi fosfor anorganik misalnya mengandalkan di calcium phosphate
maupun mono calcium phosphate relatif mahal belakangan ini. Di samping
itu, fosfor yang terikat dalam asam phitat yang tidak bisa dicerna
sempurna oleh sistem pencernaan hewan monogastrik akan ikut dalam feses
dan menjadi sumber polutan yang berpotensi mencemari tanah. Fosfor
adalah tidak terurai dalam tanah sehingga dalam jangka panjang,
pembuangan feses dengan kandungan fosfor tinggi akan menimbulkan masalah
bagi tanah.
Terdapat
dua keuntungan menggunakan phytase dalam pakan ternak yaitu (1)
pengurangan biaya pakan dari pengurangan suplemen P pada makanan dan (2)
pengurangan polusi dari berkurangnya limbah melalui feces.
Sumber Phytase
Phytase dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu 6-phytase dan 3-phytase. Penggolongan ini berdasarkan pada tempat awal molekul phytat dihidrolisis. 6-phytase
umumnya ditemukan dalam tanaman, sedangkan 3-phytase dihasilkan oleh
jamur (mikroorganisme) (Dvorakova, 1998, diacu oleh Maenz, 2001).
1. Phytase Tanaman
Hampir semua tanaman mempunyai aktivitas phytase namun jumlah dan aktivitasnya sangat bervariasi cukup besar antar tanaman. Eeckhout
dan De Paepe (1994) telah mengevaluasi level phytase pada 51 feedstuffs
yang digunakan di Belgia dan menyimpulkan bahwa aktivitas phytase
terdapat pada biji sereal seperti rye, triticale, gandum, barley
sedangkan feedstuff lainnya termasuk kedelai mengandung aktivitas
phytase yang sangat rendah (Maenz, 2001). Kandungan P pada
wheat untuk makanan unggas berkisar 45 sampai 70 % (Barrier-Guillot et
al, 1996, diacu oleh Maenz, 2001). Lebih lanjut Barrier-Guillot et al.,
1996) mengukur aktivitas phytase pada 56 contoh gantung yang tumbuh di
Perancis tahun 1992 dan mendapatkan variasi aktivitas phytase antara 206
sampai 775 mU per gram.
Studi
yang dilakukan oleh Kemme et al., (1998) diacu oleh Maenz (2001)
terhadap degradasi asam pitat pada pencernaan babi (pigs) menunjukkan
bahwa, bila diberi makan jagung, maka tingkat degradasinya adalah 3 %,
phytase pada jagung 91 unit/kg, diberi makan campuran jagung-barley,
tingkat degradasinya 31 %, phytase pada campuran gandum-barley 342
unit/kg dan jika diberi makan campuran gandum-barley, tingkat
degradasinya 47 %, kandungan phytase pada campuran ini adalah 1005
unit/kg. Studi ini menunjukkan bahwa tingginya kandungan
phytase pada gandum dan barley dapat membantu meningkatkan tingkat
kecernaan asam phytat pada hewan.
2. Phytase Mikroorganisme
Enzime hydrolitik yang menguraikan asam phytat dihasilkan oleh berbagai macam mikroorganisme. Dvorakova
(1998) yang diacu oleh Maenz (2001) mengatakan bahwa ada 29 jenis
jamur, bakteri dan ragi yang menghasilkan enzime phytase. Dari 29 jenis tersebut, 21 jenis diantaranya menghasilkan enzime phytase extraceluler. Strain jamur Aspergilus niger menghasilkan aktivitas phytase extraseluler yang tinggi (Volfova et al., 1994) yang diacu oleh Maenz (2001).
IV. TANTANGAN PENGGUNAAN ENZIM PADA INDUSTRI PAKAN TERNAK DIMASA YANG AKAN DATANG
Enzim mempunya sifat yang unik, akan menunjukkan aktivitasnya pada kondisi lingkungan yang cocok, baik pH maupun Suhu. Masing-masing
jenis enzim mempunya kisaran pH dan suhu optimalnya. Pelet pakan ternak
dibuat melalui proses pemanasan pada suhu tinggi, karena itu kestabilan
enzim terhadap perlakuan panas pada industri pakan sangat diperlukan.
Enzim
bekerja sebagai katalisator untuk mempercepat suatu proses reaksi
kimia, karena itu aktivitasnya juga akan ditentukan oleh dosis enzim itu
sendiri. Pemberian enzim exogeneous harus
mempertimbangkan juga enzim endogeneous yang sudah ada pada hewan,
karena itu sebelum membuat formulasi produk harus dilakukan penelitian
terlebih dahulu dan dilihat performance hewannya pada berbagai tingkatan
umur.
Metoda analisis yang mudah dan tepat untuk menentukan jumlah enzim yang aktif juga merupakan suatu tantangan yang perlu mendapatkan perhatian dari para ilmuwan, Dengan adanya metode analisis yang akurat dan cepat makan akan sangat mempermudah pembuatan formulasi produk pakan ternak.
Walaupun
telah terbukti bahwa suplemen enzim dapat meningkatkan produksi ternak,
namun karena untuk mendapatkan enzim itu sendiri tidak mudah maka
produk pakan ternak berenzim harganya menjadi mahal, karena itu komponen
biaya lain dari produksi pakan sedapat mungkin dapat ditekan sehingga
akan menurunkan harga pakan ternak berenzim. Hal lain yang perlu dilakukan adalah melakukan penelitian untuk mendapatkan enzim secara mudah dan murah.
Indonesia
merupakan negara yang mempunya julukan megadiversiti, karena itu
explorasi untuk mendapatkan sumber penghasil enzim baru sangat dimungkinkan, baik dari jamur maupun bakteri. Saat
ini belum banyak enzim termostabil yang dihasilkan dari Indonesia,
padahal sumber-sumber baik bakteri maupun jamur dari lokasi kawah sangat
berlimpah.
V. PENUTUP
Pada
saat ini enzim sudah mulai dipergunakan secara meluas untuk
tujuan-tujuan industri pakan ternak dengan mempertimbangkan berbagai
macam keuntungan-keuntungan yang nyata. Enzim bersifat
tidak beracun, alami dan segera menjadi tidak aktif apabila reaksi sudah
mencapai titik yang dikehendaki.
Enzim
bekerja secara spesifik pada substrat yang kebanyakan terdapat di dalam
bahan makanan ternak baik berupa protein, selulose, hemiseslulase
maupun sumber P pada asam phytat yang kesemuanya merupakan bentuk
molekul besar yang tidak bisa diserap dan digunakan langsung. Agar
supaya dapat diserap dan digunakan langsung, maka molekul-molekul besar
tersebut harus dipecah menjadi molekul sederhana yang mudah diserap dan
digunakan oleh hewan. Pemecahan molekul ini akan
dipercepat oleh adanya enzim specifik, namun tidak semua hewan mampu
menghasilkan enzim-enzim yang diperlukan.
Enzime
eksogenus lebih banyak digunakan sebagai bahan tambahan (suplement)
dalam pakan unggas untuk memperbaiki pencernaan karbohidrat. Penambahan
enzim ke dalam pakan unggas bertujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan
nilai kecernaan dari bahan baku tertentu yang dalam kondisi normal
mempunyai kendala untuk tingkat penggunaan yang lebih tinggi. Enzim
yang ditambahkan sebagai suplemen membantu menurunkan viskositas gel
dalam saluran pencernaan, memperbaiki jalan masuk enzim endogenus kepada
cadangan-cadangan nutrisi, dan membebaskan nutrisi-nutrisi yang
terperangkap seperti gula sederhana dan lysine.
Enzim
dapat memperbaiki tingkat kecernaan non starch polysaccharides (NSP)
seperti selulosa dan pektin yang tidak mudah tercerna oleh enzim-enzim
pencernaan. NSP (beta glucans dan pentosan) juga diketahui memerangkap
banyak nutrisi-nutrisi penting dalam sel-sel tumbuhan dan bagian-bagian
terlarutnya menyebabkan peningkatan viskositas saluran pencernaan dalam
usus yang mengurangi efektivitas enzim endogenus dan memperlambat
pergerakan bahan makanan di saluran pencernaan.
Pada
prinsipnya penambahan enzim dalam pakan bertujuan untuk menyingkirkan
faktor anti nutrisi yang lazim terdapat dalam bahan baku asal tanaman.
Peranan anti nutrisi dalam bentuk menghambat pencernaan nutrisi yang
mengarah pada menurunnya enerji metabolis bahan, pertumbuhan yang
rendah, konversi pakan yang buruk, kotoran basah yang menghasilkan
telur-telur yang kotor dan masalah sampah. Tujuan lain adalah untuk
meningkatkan daya cerna bahan, membuat nutrisi-nutrisi tertentu secara
biologis lebih tersedia, dan mengurangi dampak pencemaran yang
ditimbulkan oleh kotoran unggas (ayam).
Penambahan
enzim pada pakan ternak telah terbukti meningkatkan daya cerna makanan,
namun demikian karena dalam proses produksi pakan ternak menggunakan
suhu yang cukup tinggi, maka diperlukan enzim-enzim yang sifatnya tahan
terhadap suhu tinggi. Explorasi enzim-enzim pemecah pati,
protein, asam phytat masih sangat terbuka luas mengingat di daerah
tropis merupakan megadiversitas tidak menutup kemungkinan banyak
mikroorganisme yang menghasilkan enzim-enzim yang dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
Bath, MK and GP Hazlewood. 2001. Enzymology
and Other Characteristics of Cellulases and Xylanases. In Enzimes in
Farm Animal Nutrition. Bedford, MR and GG Patridge (Eds). CABI Publishing. UK
Direktorat Jenderal Peternakan. 2007. Statistik Peternakan 2007. Dirjen Peternakan Departemen Pertanian RI.
Pugh, R and Chalfont D, 1993. The Scope for Enzymes in Commercial Feed Formulations. In Asia Pacific Lecture Alltech.
Richana, N. 2002. Produksi dan Prospek Enzim Xilanase dalam Pengembangan Bioindustri di Indonesia. Buletin AgroBio 5(1):29-36, 2002
Maenz, D.D. 2001. Enzimatic
Characteristics of Phytases as they Relate to Their Use in Animal
Feeds. In Enzimes in Farm Animal Nutrition. Bedford, MR and GG Patridge
(Eds). CABI Publishing. UK
PoultryIndonesia.Com. Tingkatkan Performa Ayam Dengan enzim Xilanase. www.poultryindonesia.com
Sumber : Dikutip berbagai sumber, by Indah, http://bit.ly/19Grtrt